Sisi Hitam Serambi Mekah:
cinta berbuah cambukan, pelacuran berbuah…?
Barusan saya lihat berita di TV, tentang maraknya (LAGI) pelacuran di tanah Aceh. Ironis, wilayah yang ketat penerapan Hukum Islamnya ini justru menyimpan sisi gelap (yang manusiawi?). Bahkan semenjak DI Aceh berganti nama jadi Nanggroe Aceh Darussalam, mulai dibentuk Polisi Syariah, yaitu alat daerah yang khusus menangani kasus2 yang berhubungan dengan penerapan Hukum Syariah (Islam).
Logikanya, jika suatu daerah menerapkan Syariah Islam dengan benar, maka tidak perlu ada Polisi Syariah, ‘kan? Tapi, seperti saya sebut tadi, sisi gelap (yang manusiawi?) tadi tetap ada.
Perjudian, pelacuran, dua hal yang diharamkan Islam berkembang pesat di Aceh. Sebenarnya, judi bisa lebih disebut suatu kultur masyarakat. Sementara pelacuran sebagai profesi tertua di dunia (pernah ada yg membuat opini seperti itu, tapi saya kira memang benar) juga marak. Dan keduanya bukan hal baru di Aceh. Salah seorang Bibi saya yang pernah bertugas di Aceh akhir tahun 70an bercerita, sebagai seorang dokter PTT ia seringkali kedatangan pasien, wanita, yang meminta agar Bibi saya mau menggugurkan kandungannya atau kandungan anak perempuannya. Ketika ditanya alasannya, ia mengatakan bahwa kehamilan itu tidak dikehendaki, akan membuat aib, karena ia (atau anaknya) hamil oleh… ayah kandung/paman/ kakak laki2-nya. Ya, mereka menjadi korban incest. Bibi saya menolak permintaan mereka karena tidak ada alasan medis yang membenarkan aborsi. Yang menyedihkan, jumlah pemohon aborsi dengan kasus serupa bisa mencapai 1-2 orang setiap bulannya. Itu yang berani minta tolong, bagaimana yang memilih diam dan menanggung aib serta kewajiban sebagai wamita: hamil dan melahirkan…?
Dan kasus-kasus semacam ini bisa dibilang tidak pernah muncul ke permukaan di tanah Aceh, karena wanita dituntut menutupi aib laki2 anggota keluarganya (dan menanggung sendiri akibatnya…)
Lalu dalam berita yang saya lihat tadi, sejumlah perempuan yang ternyata berprofesi sebagai PSK alias Pekerja Seks Komersial ditangkap di Lhokseumawe. Dan sekitar pertengahan 2005 ini pun sempat ada berita tentang tertangkapnya sejumlah perempuan yang melacur di ‘warung remang-remang’ sekitar Banda Aceh. Saya tidak terlalu ingat, tapi rasanya tidak ada kelanjutan ceritanya di TV. Sementara setahu saya, dengan berlakunya hokum Syariah Islam di wilayah NAD, seharusnya mereka mendapatkan hukuman sesuai Syariah Islam, misalnya dicambuk, karena perbuatan asusila yang mereka lakukan itu.
Berbicara mengenai hukuman tersebut, anda mungkin ingat kasus seorang perempuan Aceh yang berciuman dengan kekasihnya, seorang anggota TNI yang akan pulang ke Jawa bersama pasukannya setelah tugas mereka sehubungan dengan DOM Aceh –kasus GAM- telah selesai dengan ditandatanganinya kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan GAM.
Gambar mereka menjadi sasaran empuk wartawan karena si perempuan berlari mengejar si lelaki yang sedang berbaris dalam pasukannya, menuju kapal laut yg akan membawa mereka pulang ke Jawa, dan si lelaki yang melihatnya keluar dari barisan dan mereka berciuman. Disana, di depan kamera, dengan pemirsa yang tidak hanya masyarakat serta orang2 militer yang ada di sana, tapi juga jutaan jiwa penonton tv dan pembaca Koran yang melihat gambar mereka malamnya atau esok paginya.
Mirip foto yang saya lihat di Majalah Life, dimana seorang prajurit yang baru kembali ke Amerika setelah berperang (kalau tdk salah itu era PDII), mencium kekasihnya dan menjadi momen yang pas, mengingat sekian lama ia tidak bertemu kekasihnya itu.
Perempuan Aceh tsb saya kira terdorong untuk ‘mencurahkan perasaan’ mengingat entah kapan ia bisa bertemu lagi dengan prajurit idaman (deu)
Hasilnya?
Perempuan tsb terkena hukuman cambuk oleh Polisi Syariah, karena dianggap melanggar kesusilaan, berciuman dengan lelaki yang bukan muhrimnya, dan di tmpt umum pula. Sementara si prajurit entah dikenai hukuman apa, karena atasannya menyatakan bertanggung jawab atas tindakan ‘penuh cinta’ bawahannya tsb.
Seorang kolumnis di The Jakarta Post mempertanyakan, apakah tidak lebih baik dicarikan jalan keluar yang “less painful” seperti menikahkan keduanya segera? And I agree with that.
Kembali ke masalah pelacuran tadi, tidak adil jika kemudian Polisi Syariah tidak menghukum pelacur2 tadi dengan hukuman serupa –atau bahkan lebih berat- karena ‘bisnis’ mereka jelas lebih berat kadar pelanggarannya dibanding ciuman penuh cinta tadi. Ya, ciuman itu tidak pantas dilakukan dengan non-muhrim secara hukum Islam, dan tidak pantas juga dilakukan depan umum –secara etika social, tapi bukannya pelacuran lebih ngga bener lagi, baik secara syariah ataupun etika social+moral??
Ngga usah hipokrit deh!!! Pintar2 aja mengukur kadar pelanggarannya, toh kita bisa menilai mana yang lebih ‘berat’ –semoga polisi syariah juga bisa. Wisdom, my friend, is the key to justice.
No comments:
Post a Comment